• USDT kini menguasai lebih dari separuh pasar stablecoin dan jauh meninggalkan USDC.
  • Meta dan Mastercard mulai adopsi stablecoin untuk pembayaran lintas platform dan dunia nyata.

Tether (USDT) telah mencetak sejarah sebagai stablecoin pertama yang berhasil menembus kapitalisasi pasar lebih dari US$150 miliar. Angka ini bukan cuma besar, tapi benar-benar jauh meninggalkan saingannya, USD Coin (USDC), yang saat ini tertahan di kisaran US$61 miliar.

Artinya? USDT sekarang lebih dari dua kali lipat lebih besar dibanding USDC, dan menguasai sekitar 61% pasar stablecoin global. Kombinasi dua nama ini saja sudah mengendalikan hampir 90% dari keseluruhan pasar stablecoin, tapi jelas siapa yang jadi pemimpin.

JUST IN: $USDT DOMINATES THE STABLECOIN MARKET, MORE THAN DOUBLING $USDC MARKETCAP

Source: DeFi Llama https://t.co/MwQpmx0ryB pic.twitter.com/SCblh2Fakc

— Mario Nawfal’s Roundtable (@RoundtableSpace) May 16, 2025

Ketika USDT Jadi Pelarian dari Krisis Mata Uang

Kalau ditarik ke belakang, USDT memang mengalami lonjakan pasokan sekitar 36% selama setahun terakhir. Kenaikan ini makin tajam sejak akhir 2024, berbarengan dengan meningkatnya permintaan dari berbagai belahan dunia. Banyak pengguna di negara berkembang menjadikan USDT sebagai “penyimpanan darurat”—alat bantu ketika mata uang lokal mereka melemah atau inflasi bikin dompet menipis.

Coba bayangkan kalau kamu tinggal di negara dengan krisis mata uang, lalu bisa pakai USDT buat belanja atau kirim uang. Nggak heran sih, kenapa penggunaannya makin meroket.

Perusahaan Raksasa Mulai Lirik Lagi Stablecoin

Menariknya, bukan cuma trader atau pengguna retail yang ikut mengandalkan USDT. Perusahaan besar pun mulai membuka kembali jalur untuk stablecoin ini. Pada 8 Mei 2025, Meta dilaporkan sedang menjajaki penggunaan stablecoin untuk pembayaran di Facebook dan WhatsApp.

Setelah proyek Diem mereka kandas beberapa tahun lalu, kini mereka tampaknya lebih realistis—mengandalkan infrastruktur dari luar ketimbang bikin sendiri. Yang dibidik? Konten kreator. Bayaran lewat stablecoin seperti USDT atau USDC dianggap lebih cepat, simpel, dan lintas negara.

Bukan cuma itu, Mastercard juga ikut turun gelanggang. Pada 16 Mei, mereka umumkan kerja sama dengan MoonPay untuk mendukung pembayaran dengan stablecoin. Pengguna cukup pakai kartu Mastercard yang terhubung ke dompet USDT atau USDC, dan saat transaksi, saldo stablecoin langsung dikonversi otomatis ke mata uang lokal.

Dengan lebih dari 150 juta lokasi penerima Mastercard di seluruh dunia, ini bisa jadi pengubah permainan. Apalagi buat bisnis kecil yang ingin ekspansi tanpa harus ribet dengan konversi kurs atau sistem pembayaran tradisional yang lambat.

Namun demikian, makin besarnya peran stablecoin juga memicu pertanyaan baru, terutama dari sisi regulasi. CNF sebelumnya menyoroti pandangan CEO CryptoQuant, Ki Young Ju, yang menyoroti potensi munculnya “dark stablecoin” alias stablecoin yang tidak tunduk pada regulasi ketat.

Ia menyebut ada dua kemungkinan: stablecoin algoritmik yang nilainya dikontrol otomatis tanpa pemerintah, atau stablecoin yang diterbitkan oleh negara yang lebih longgar soal sensor transaksi. Menurutnya, kalau Tether suatu saat menolak tunduk pada aturan Amerika, bukan tak mungkin mereka masuk kategori ini.

Lebih lanjut lagi, proyeksi ke depan juga cukup menggoda. Analis dari Citi memperkirakan pasar stablecoin bisa tumbuh sampai 600% pada 2030, mencapai lebih dari US$1,6 triliun. Tapi tentu saja, itu akan sangat bergantung pada bagaimana regulasi bergerak dan seberapa jauh perusahaan besar dan pengguna global mengadopsi stablecoin sebagai bagian dari kehidupan finansial mereka.